Sinar mentari menembus rerimbunan daun membangunkan Rin. Udara pagi yang segar dan kicauan burung menyambutnya di belakang bus sekolah usang yang telah menjadi rumahnya selama bertahun-tahun. Rin mengusap jendela bagian belakang bus yang mengembun. Udara pagi di bulan Desember tahun 3071 ini lembap dan berat, sarat dengan aroma lumut dan tanah basah.

Bianca, putrinya yang berusia sepuluh tahun, muncul dari balik pintu baru saja kembali dari penjelajahan paginya, matanya berbinar penuh semangat. Ekame, suami Rin, ayah Bianca, sedang memeriksa perangkap ikan yang mereka pasang di sekitar sungai, sumber protein langka di dunia yang didominasi tumbuhan ini.

"Ayah menemukan jejak aneh di dekat sungai, Bu," bisik Bianca, nada bicaranya bersemangat. "Jejak yang besar sekali, bukan milik Sapi Hutan atau Kerbau Hutan."

Rin mengerutkan kening. Beberapa bulan terakhir ini, Ekame sering menemukan jejak-jejak aneh di sekitar hutan. Jejak-jejak yang tidak mereka kenali, jejak yang menimbulkan tanda tanya besar dan sedikit rasa takut di hati mereka.

"Mungkin hanya imajinasimu saja, Sayang," kata Rin, berusaha terdengar tenang. "Lagipula, bukankah Ayah sudah bilang kalau hutan ini luas dan penuh kejutan?"

Bianca hanya mengangguk, namun sorot matanya tetap dipenuhi rasa ingin tahu. Hari ini mereka sarapan seadanya, terdiri dari buah beri, umbi-umbian dan ikan hasil temuan kemarin.

"Cepat selesaikan sarapan kalian!" Panggil Ekame. "Kita harus tiba di reruntuhan Museum sebelum matahari meninggi."

Rin turun dari bus bersama Bianca, kaki mereka menapak tanah berlumut. Di kejauhan, menara-menara kaca mencakar langit, terlilit tumbuhan raksasa yang merambat. Itulah Majalengka, atau apa yang tersisa darinya, setelah Bencana Biologis. Sebuah kesalahan fatal dalam rekayasa genetika yang membuat tumbuhan tumbuh tak terkendali, menelan peradaban.

Setelah Bencana Biologis Besar, hanya sedikit manusia yang tersisa, seluruh penjuru dunia telah berubah menjadi hutan lebat. Mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil, terisolasi, berusaha bertahan hidup di tengah alam yang liar dan tak terkendali.

Setiap minggu, mereka menjelajahi reruntuhan kota, mencari artefak dari masa lalu. Buku, alat musik, mainan, apapun yang bisa membantu mereka memahami dunia yang hilang dan mengajarkan anak mereka tentang kehidupan sebelum Malapetaka.

Hari ini, mereka menemukan sesuatu yang berbeda di reruntuhan Museum. Sebuah kotak logam terkunci rapat, tersembunyi di bawah reruntuhan patung gajah. Dengan hati-hati, Ekame membuka paksa kotak itu. Di dalamnya, mereka menemukan sebuah gulungan kertas tua, dengan gambar aneh terukir di permukaannya.

"Apa itu, Ayah?" Tanya Bianca, penasaran. Ekame mengamati benda itu dengan seksama. "Aku tak tahu, Bianca," katanya, matanya menyipit. "Tapi sepertinya... peta."

Hari itu mereka bertiga menelusuri reruntuhan gedung Museum. Tumbuhan merambat menjalar di dinding-dinding kusam, menciptakan pemandangan yang indah sekaligus memilukan.

Di sepanjang perjalanan pulang, Bianca tak henti-hentinya bertanya tentang dunia sebelum 'Kehancuran', tentang lautan yang luas, tentang kendaraan bermotor yang melaju kencang, tentang kehidupan yang hanya bisa dibayangkannya lewat cerita orang tuanya.