Sambil menunggu hasil interview kerja di Bali, saya menyempatkan diri jalan-jalan. Penyebabnya adalah karena saya merasa bosan di kosan. Kemudian saya memutuskan untuk browsing di internet mencari informasi tentang tempat-tempat menarik di Bali. Saya membaca tentang Pantai Waterblow yang ga jauh dari tempat kos saya di Nusa Dua. Hmm, tempatnya bagus tapi kemudian saya menemukan sebuah artikel tentang Penglipuran, sebuah desa yang sangat bersih dan rapih. Setelah membaca ulasannya saya menjadi tertarik untuk berkunjung. Kemudian saya menggunakan Google Maps untuk menemukan desa Penglipuran. Kemudian saya mencari informasi tentang transportasi ke sana.
Persiapan
Keesokan harinya saya bangun pagi-pagi, saya mandi dan menyiapkan barang-barang. Kemudian saya menuju ke halte bus Trans Sarbagita yang tidak jauh dari kosan. Setelah menunggu sekitar 15-20 menit bus datang. Tarif bus Trans Sarbagita sangat murah, hanya Rp 3.500 ke mana pun kita ingin pergi.
Transportasi Umum Ke Penglipuran
Setelah sampai di terminal Batubulan, saya bertanya kepada orang-orang di sana tentang transportasi yang menuju ke desa Penglipuran. Mereka mengatakan tidak ada transportasi langsung dari terminal Batubulan ke Desa Penglipuran. Mereka merekomendasikan perjalanan estafet ke desa Penglipuran. Setelah saya mendapatkan arahan saya pun berangkat. Saya naik kendaraan umum ke sebuah pertigaan dengan biaya IDR 30.000, saya ga tau apa nama pertigaannya karena ga nanyain. Kemudian dari sana saya lanjutkan naik Bus Kecil. Kondektur bertanya tujuan saya, kemudian setelah sampai dia menunjukan sebuah jalan yang menuju Penglipuran. Saya membayar Rp 10.000. Kemudian saya jalan kaki ke desa Penglipuran karena ga ada transportasi lagi menuju sana. Kemudian saya membayar Rp 7.500 untuk biaya masuk.
Desa Penglipuran
Di desa Penglipuran saya melihat-lihat ke setiap rumah disana dari jalan utama desa penglipuran yang sangat bersih dan rapih. Saya perhatikan rumah-rumah di desa ini mempunyai arsitektur yang sangat bagus, terutama bagian gapura nya. Kemudian saya berhenti dan beristirahat di sebuah Bale Bengong (Gazebo persegi panjang untuk bersantai) sambil mengeringkan keringat dengan handuk kecil yang saya bawa. Saya melihat ke sekeliling banyak juga wisatawan yang sedang beristirahat. Di jalan utama desa Penglipuran, saya melihat banyak wisatawan yang sedang gantian berfoto.

Jalan utama desa Penglipuran.
Setelah lelah saya hilang, saya melanjutkan berkeliling melihat-lihat. Di ujung desa saya memasuki sebuah area besar yang tampaknya berfungsi untuk ritual keagamaan, suasananya tenang. Kemudian saya keluar dari desa melalui hutan bambu, saya membeli minuman di warung kemudian saya kembali ke jalan besar untuk naik bus. Saya menunggu bus di gerbang sebuah rumah yang dinaungi bayangan pepohonan.
Kesorean Dan Hampir Ga Bisa Pulang
Saya melihat jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 16:00 +8 GMT. Wow! saya terlalu asik keliling jadi ga sadar waktu berjalan begitu cepat. Setelah menunggu sekitar 1 jam, saya bertanya kepada seorang nenek yang lewat tentang bus yang mengarah ke pertigaan. Dia menjelaskan kalo bus udah ga beroperasi lagi di sore hari dan akan mulai beroperasi lagi besok pagi. Kemudian dia menyarankan saya untuk menginap. Saya agak panik juga karena ga tau tempat menginap di sekitar situ.
Di Tolong Penjual Nasi Goreng
Setelah menunggu lama saya pergi dan nanyain lagi tentang transportasi ke seorang perempuan di warung Nasi Goreng. Dia juga menjelaskan jika bus udah ga beroperasi di sore hari, tapi dia merekomendasikan Ojek. Kemudian dia membantu saya menelpon Ojek yang bersedia nganterin saya ke Terminal Bus Batubulan di sore hari. Saya menunggu sebentar dan kemudian Ojek itu datang, kemudian saya pamitan dan mengucapkan terima kasih kepada penjual Nasi Goreng yang baik hati tersebut.
Naik Ojek
Di jalan saya bernegosiasi soal ongkos dan akhirnya saya harus membayar Rp 80.000 hingga terminal Batubulan. Kami berbincang-bincang kemudian saya mengetahui bahwa pengemudi Ojek itu pernah tinggal di Jakarta selama 30 tahun. Dia juga tahu dan punya teman dari Majalengka. Kami juga berbicara tentang budaya Bali seperti Tajen (Sabung ayam), Ngaben (Upacara Kremasi. Ritual pemakaman yang dilaksanakan di Bali untuk mengirim yang meninggal ke kehidupan selanjutnya), Bali Aga atau Bali Age (Bali kuno, dihuni oleh keturunan orang Bali asli) dan lain-lain. Di Stasiun Bus Batubulan ia mengajak untuk bertukar nomor ponsel. Dia berkata, "Kalo kamu bepergian ke Bangli lagi, jangan ragu untuk menelepon saya" dan kemudian saya tahu namanya adalah Kadek.
Pulang
Saya naik Trans Sarbagita dari halte Batubulan ke halte di Nusa Dua, kemudian pulang ke kosan.