Mentari pagi menembus kanopi dedaunan tebal, sinarnya menari-nari di antara reruntuhan beton yang sudah lama dilupakan. Embun menetes dari sulur-sulur tanaman rambat yang merambat, membasahi tanah subur di bawahnya. Di antara puing-puing peradaban yang usang, terbangunlah Luna, seorang gadis berusia 15 tahun dengan rambut sehitam arang dan mata setajam elang.

Dunia yang Luna kenal bukanlah dunia gemerlap yang dipenuhi teknologi canggih seperti cerita dari kakeknya. Dunia Luna adalah hutan beton, di mana gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi kini hanya tersisa kerangka kokoh yang dipeluk erat oleh akar-akar pohon raksasa. Di sinilah kehidupan bersemi kembali, di atas puing-puing masa lalu yang telah lama tertidur.

Luna melompat turun dari ranjangnya yang terbuat dari tumpukan daun kering di dalam badan bus tua. Bus itu, yang dulu mungkin melaju kencang di jalanan aspal yang padat, kini telah bertransformasi menjadi rumah baginya dan keluarganya. Tanaman menjalar di atapnya, membentuk taman gantung yang indah.

"Luna, sudah bangun?" Suara lembut ibunya terdengar dari bagian depan bus. Di sana, di atas api unggun kecil, ibunya tengah memasak sarapan seadanya. Hari ini menu mereka adalah umbi-umbian yang mereka gali kemarin dan beberapa potong daging kering hasil buruan ayah.

Setelah sarapan, Luna bergabung dengan teman-temannya, River dan Sol. Mereka bertiga adalah penjelajah hutan beton ini, menjelajahi setiap sudut reruntuhan untuk mencari barang-barang berharga dari masa lalu atau tempat-tempat baru yang belum pernah mereka jamah.

Hari itu, mereka memutuskan untuk menjelajahi gedung perpustakaan tua yang runtuh. Debu beterbangan saat mereka menginjakkan kaki di lantai kayu lapuk yang dipenuhi lubang. Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah dinding menerangi rak-rak buku reyot yang masih tegak berdiri, meskipun sebagian besar buku telah hancur dimakan usia. "Lihat!" Sol berseru gembira, mengangkat sebuah kotak kayu berukir indah dari balik tumpukan buku. "Mungkin ada harta karun di dalamnya!"

Luna dan River mendekat, rasa penasaran menari-nari di hati mereka. Kotak itu terasa dingin saat Luna menyentuhnya, seakan menyimpan kisah dari masa lampau yang ingin dibagikan. Dengan hati-hati, Luna membuka kotak tersebut. Alih-alih harta karun yang mereka bayangkan, kotak itu berisi tumpukan foto dan buku harian usang. "Ini..." bisik River, mengambil sebuah foto yang memperlihatkan gedung-gedung tinggi berkilauan dan mobil-mobil terbang melintas di angkasa. "Apakah begini dunia dulu?"

Luna menatap foto itu lekat-lekat. Ada rasa sedih yang menjalar di hatinya, membayangkan dunia yang hilang, dunia yang hanya menjadi cerita turun-temurun. Namun, Luna tahu bahwa mereka tidak boleh terjebak dalam masa lalu. Mereka harus terus melangkah, membangun masa depan di atas sisa-sisa peradaban yang runtuh, hidup berdampingan dengan alam yang telah menelan dan mengubah dunia.

Malam harinya, di bawah langit yang dipenuhi bintang gemintang, Luna membuka buku harian usang yang mereka temukan. Tulisan tangan yang rapi bercerita tentang kehidupan di masa lalu, tentang teknologi yang canggih dan kesalahan yang pada akhirnya menghancurkan peradaban mereka. Luna memejamkan mata, kata-kata dari buku harian itu terngiang di benaknya.

"Semoga generasi mendatang belajar dari kesalahan kami," bisik Luna, hatinya dipenuhi tekad. "Kami akan membangun dunia yang lebih baik, dunia di mana manusia dan alam hidup berdampingan."

Di atas puing-puing masa lalu, di bawah langit berbintang, Luna dan generasi baru lainnya berjuang untuk membangun masa depan. Masa depan yang dipenuhi harapan, di antara reruntuhan dunia yang telah lama hilang.